Pages

Minggu, 17 Februari 2013

Husnudzan Kepada Allah


Kami Tidak Tahu Ini Rahmat atau Musibah, Kami Hanya Berprasangka Baik Kepada Allah


Bismillah...
               
Akhirnya sempat juga membuat postingan baru di rumah mungil yang sepi ini. Beberapa minggu sebelumnya (saya tidak ingat dengan pasti apa tiga atau empat minggu sebelumnya), saya mendapat cobaan dengan sesuatu yang menimpa saya (saya tidak mau menyebutnya sebagai musibah, alasannya akan sahabat-sahabat temukan setelah membaca postingan ini sampai selesai). Laptop satu-satunya yang saya punya dan segala macam file-file penting didalamnya yang belum sempat di backup berpindah tangan ke orang lain yang saya sendiri tidak mengenalnya, bahasa sederhananya laptop saya dicuri.
               
Saya jadi teringat salah satu cerita yang pernah saya baca di buku Dalam Dekapan Ukhuwah nya kang Salim A. Fillah tentang seseorang yang selalu berhusnudzan kepada Allah. Dari sini, saya rasa sahabat-sahabat sudah bisa menebak isi dari postingan ini. Yap, tentu saja isinya mengenai cerita itu, sebuah cerita yang sarat akan hikmah dan pelajaran yang luar biasa. Semoga saya dan sahabat-sahabat pembaca sekalian, bisa mendapatkan hikmah tersebut dan menginstallnya kedalam kehidupan kita masing-masing. InsyaAllah.
               
Kisah ini merupakan sepotong episode panjang kehidupan seorang ayah yang pernah menjadi budak dan anaknya yang hidup di masa 'Abbasiyah. Saya tidak mau dan tidak bisa mendeskripsikan bagaimana kondisi 'Abbasiyah ketika itu jadi mari kita kesampingkan cerita tentang Dinasti 'Abbasiyah ini.
                
Budak tersebut bekerja untuk tuannya setiap hari kecuali hari jum'at, karena ketika itu terdapat aturan dari kesultanan bahwa hari jum'at merupakan hari libur. Hari jum'at inilah yang dimanfaatkan oleh budak tersebut untuk bekerja keras demi mendapatkan dirham. Singkat cerita, akhirnya budak tersebut telah mampu mengumpulkan dirham-dirham tersebut dengan jumlah yang sama dengan harga budak ketika itu. Dengan bermodal dirham itulah, budak tersebut meminta izin kepada majikannya untuk menebus dirinya.
                
"Tuan," ujarnya, "Apakah dengan membayar harga senilai dengan engkau membeliku dulu, aku akan bebas?"
                
 "Ya, bisa"
                
"Baik, ini dia." Budak tersebut meletakkan bungkusan yang berisi dirham-dirham yang telah dikumpulkannya dari bekerja keras setiap hari jum'at tersebut. "Allah 'azza wa jalla telah membeliku dari Anda, lalu Dia membebaskanku. Alhamdulillah"
                
"Maka Engkau bebas karena Allah," ujar sang majikan tertakjub. Dia lalu bangkit lalu memeluk budak tersebut. Setelah itu dia membuka bungkusan itu dan mengambil separoh dirham yang ada disana. Separohnya lagi dikembalikannya ke budak tersebut. "Gunakanlah ini," pesan sang majikan, "Untuk modal bagimu dalam memulai hidup barumu sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia bisa menjadi sebagian tangan Tuhan yang membebaskanmu."
                
Dengan penuh syukur dan haru, juga bercampur dengan rasa khawatir, sang budak segera pamit. "Aku tidak tahu wahai tuanku yang baik, " ucapnya dengan mata berkaca-kaca, "Apakah kebebasan ini adalah rahmat ataupun musibah. Aku hanya bisa berbaik sangka kepada Allah"
                
Tahun demi tahun telah berlalu. Sang Istri yang selama ini mendampinginya telah wafat setelah ia berhasil menyempurnakan kewajibannya, menyusui putra semata wayangnya hingga usia dua tahun. Akhirnya dialah yang membesarkan putranya seorang diri. Ia mendidik putranya untuk memahami agama dan menjalankan sunnah Rasul. Dia juga mendidiknya agar anak laki-laki tersebut tumbuh dengan sikap ksatria dan berjiwa merdeka.
                
"Anakku," ujarnya di suatu pagi, "Ayahmu ini dulunya merupakan seorang budak. Tapi aku selalu menjaga kehormatan dan kesucianku, maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku. Dan sekarang, aku telah menjadi orang yang merdeka. Ketahuilah Nak, orang bebas yang paling merdeka adalah dia yang bisa memilih caranya untuk mati dan menghadap Ilahi."
                
"Ketahuilah," lanjutnya, "Seorang yang berjihad lalu syahid di jalan Allah itu pada hakikatnya tak pernah mati. Saat ia terbunuh, dia akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya akan terbang kesana-kemari di taman surga dalam tubuh burung hijau, menanti datangnya hari akhir dan ia juga diizinkan untuk memberi syafaat kepada keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu Nak, dengan berjihad lalu syahid dijalan-Nya."
                
Sang anak mengangguk.
                
Sang ayah lalu mengeluarkan sebuah kantung yang berisi uang. Dari dalam kantung tersebut terdengar gerimincing dinar. "Mari kita mempersiapkan diri," bisiknya, "Mari kita beli kuda yang terbagus dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam jihad dijalanNya. Mari kita belanjakan uang ini untuk mengantar kita pada kesyahidan dengan sebaik-baik tunggangan."
                
Siang harinya, mereka pulang dari pasar dengan membawa seekor kuda berwarna hitam yang gagah dan kuat. Semua tetangga datang untuk melihatnya. Mereka menyentuh kuda tersebut dan mengelus surainya. "Kuda yang hebat!", ujar tetangga itu, "Aku tidak pernah melihat kuda seindah ini. Luar biasa! Berapa uang yang kalian keluarkan untuk membeli kuda ini?"
             
Ayah dan anak itu tersenyum. Jawabannya tidak lain adalah itu semua simpanan yang telah dikumpulkan selama ini.

Para tetangga ternganga mendengar jumlahnya. "Wah!", seru mereka, "Kalian masih waras atau sudah gila? Kalian menghabiskan uang sebanyak itu untuk membeli kuda ini? Padahal rumah kalian saja sudah reyot bahkan hampir roboh. Untuk makan besok aja belum tentu ada!" Kekaguman diawal akhirnya berubah menjadi cemooh. "Tolol!" kata salah satu, "Tak tahu diri!", kata yang lain, "Pandir!"

"Kami tak tahu, apakah ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah," ujar ayah dan anak itu.
                
Ayah dan anak itupun merawat kudanya dengan penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya bahkan sekali-kali dilebihkan. Si kuda pun juga dilatih keras tapi tidak dibiarkan kelelahan tanpa mendapat hadiah. Sekarang mereka hidup bertiga dengan si kuda, menanti hari demi hari sampai datangnya kesempatan untuk berjihad di jalan Allah dan menggapai akhir terindah.
                
Sepekan berlalu. Saat sang ayah pergi kekandang kudanya, ia menemukan pintu kandang yang telah patah. Kuda itu hilang!
                
Para tetanggapun berdatangan untuk mengucapkan belasungkawa. Mereka bersimpati pada cita ayah dan anak tersebut. Tapi mereka juga menganggap keduanya kelewatan. "Ah sayang sekali, padahal kuda itu merupakan kuda terindah yang pernah kami lihat," ujar mereka, "Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan ambisi kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian."
                
"Kami tak tahu, apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah." ucap ayah dan anak tersebut.
                
Mereka berdua pasrah. Dengan melihat sisa uang yang ada, mereka menerka-nerka berapa lama lagi mereka bisa membeli kuda lagi. "Nak," ujar sang ayah, "Dengan atau tanpa kuda, jika jihad telah memanggil, kita harus menyambutnya!". Sang anak mengangguk mantap. Akhirnya mereka kembali menjalani hari-hari dengan bekerja keras seolah-olah tidak ada hal buruk yang pernah terjadi.
                
Tiga hari berlalu, di suatu subuh, terdengan suara gaduh dan ringkikan kuda dikandang kuda milik ayah dan anak tersebut. Sang ayah lalu terjaga dan segera bergegas kekandang kudanya. Ternyata disana ia melihat kuda gagah yang bersurai indah. Tidak salah lagi, itulah kuda yang tiga hari lalu pergi tanpa pamit!
                
Tapi, kuda tersebut tak sendiri. Ia datang bersama kuda-kuda liar lainnya. Itu pasti kawan-kawannya! Mereka datang dari stepa yang luas untuk bergabung bersama si hitam di kandangnya. Mungkinkah kuda punya akal jernih? Mungkinkah si hitam merasa mendapatkan layanan terbaik sehingga ia mengajak kuda-kuda lain untuk bergabung? Ataukah mereka tahu bahwa dengan mendatangi kandang tersebut berarti bersiap untuk bertaruh nyawa dijalan Allah jika kelak panggilan jihad berkumandang? Ataukah itu memang keinginan sang kuda?
                
"Bertasbihlah kepada Allah, segala yang di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Q.S. Ash Shaff[61]: 1)
                
Siang harinya, para tetangga kembali datang berduyun-duyun untuk melihat kejadian itu. "Luar biasa! kuda itu ternyata pergi untuk memanggil kawan-kawannya untuk bergabung! Kalian sekarang kaya raya! Kalian orang terkaya dikampung ini!" Sambil tersenyum, ayah dan anak itu menjawab, "Kami tidak tahu, apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."
                
Hari berikutnya, sang anak mencoba untuk menunggangi salah satu dari kuda-kuda tersebut. Ia memacunya ke segala penjuru. Tiba-tiba disalah satu persimpangan, kuda tersebut terkejut karena ada seekor lembu yang lepas, melintas secara tiba-tiba didepannya. Dia meronta keras sehingga penunggannya pun akhirnya terjatuh. Kaki anak tersebut patah!
                
Para tetanggapun datang untuk menjenguk anak tersebut. Mereka melihatnya dengan penuh iba. "Kami turut prihatin," ujar mereka, "Ternyata kuda itu membawa musibah. Alangkah lebih baiknya jika tidak mempunyai kuda namun anaknya sehat sentausa."
                
Tuan rumah tersenyum, "Kami tidak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."
                
Hari berikutnya, para hulubalang raja berkeliling ke seluruh pelosok negeri termasuk ke kampung tempat ayah dan anak itu tinggal. Mereka mengumumkan pengerahan pasukan untuk melawan musuh yang telah sampai diperbatasan. Mereka mencari pemuda-pemuda yang sehat jasmani dan rohaninya untuk dikerahkan ke medan perang. Namun sayangnya, peperangan ini sulit untuk disebut sebagai jihad karena musuh yang mereka maksud ternyata juga umat Islam, hanya berbeda kesultanan saja.
                
"Nak," bisik sang ayah kepada putranya yang terbaring tak berdaya, "Semoga Allah menjaga kita dari menumpahkan darah sesama Muslim. Allah Maha Tahu, kita ingin berjihad dijalanNya namun, kita sama sekali tidak ingin beradu senjata dengan orang-orang  Muslim. Semoga Allah membebaskan kita dari beban ini."
                
Petugas pendaftaran mendatangi setiap rumah-rumah warga dan membawa pemuda-pemuda yang memenuhi persyaratan. Saat petugas itu mendatangi rumah ayah dan anak tadi, mereka melihat anak tersebut terbaring lemah dengan kaki dibebat dan disangga dengan kayu.
                
"Apa yang terjadi pada anakmu" tanya petugas.
                
"Tuan prajurit," ujar sang ayah, "Anak saya ini sangat ingin sekali membela negeri, turun ke medan perang. Ia telah berlatih untuk itu. Namun kemarin ketika mencoba menjinakkan kuda liar kami, dia terjatuh dan kakinya patah."
                
"Ah sayang sekali," kata petugas tersebut, "Padahal ia gagah, saya yakin ia akan menjadi prajurit yang tangguh. Namun dengan kondisinya yang seperti ini, saya tidak bisa mengikutsertakannya karena ia tidak memenuhi syarat. Maafkan aku."
                
Para tetangga yang ditinggal pergi putra-putranya untuk menjadi prajurit mendatangi si pemilik kuda. "Ah nasib," ujar mereka, "Kami kehilangan putra-putra kami. Kami melepas mereka tanpa tahu apakah mereka akan selamat atau tidak. Sementara putramu tetap bisa tinggal karena kakinya patah. Kalian beruntung sekali! Allah menyayangi kalian!"
                
Tuan rumah ikut bersedih melihat wajah-wajah mendung para tetangga. Namun, ayah dan anak tersebut kembali tersenyum, "Kami tidak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."
                
Sebulan kemudian, kota tersebut dipenuhi isak tangis dan ratapan para ibu dan para istri. Para lelaki yang tersisa termangu tergugu. Beritanya telah jelas. Semua pemuda yang pergi kemedan perang tewas. Namun, tampaknya semua penduduk kota tersebut telah mendapat sedikit banyak pelajaran dari ayah dan anak tersebut.  Seluruh penduduk kota akhirnya menggumamkan kalimat indah tersebut, "Kami tak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."
                
Singkat cerita, panggilan jihad yang sebenarnyapun akhirnya datang. Negeri-negeri Islam diserang oleh pasukan Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan. Mereka menyerbu wilayah Islam dan membumi hanguskannya sampai rata dengan tanah. Ayah dan anak tersebut dengan penuh suka cita menyambut panggilan jihad itu dengan kalimat indahnya, "Kami tak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."
                
Mereka memang menemui syahid. Tapi sebelum itu, ada nikmat yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Sang anak pernah tertangkap musuh dijual sebagai budak. Anak tersebut berpindah-pindah tangan hingga kepemilikannya jatuh pada al-Kamil, seorang Sultan Ayyubiyah di Kairo. Ketika pemerintahan Mamluk mengganti wangsa Ayyubiyah di Mesir, kariernya menanjak cepat dari komandan kecil menjadi panglima pasukan, lalu amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnya Az Zahir Ruknudding Baibars, dia diangkat menjadi Sultan. Namanya Al Manshur Saifuddin Qalawun.
                
Inilah kisahnya. Kisah tentang begitu indahnya kalimat sederhana yang diucapkan oleh ayah dan anak tersebut dengan sejuta kebaikan yang berada dibalik setiap kejadian. Apapun kejadian yang kita alami dan kita hadapi, iringilah dengan prasangka baik kepada Allah karena pasti akan selalu ada hikmah dan nikmat-nikmat tersembunyi dibaliknya yang implisit maupun eksplisit.
                
"Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
                
Ibnul Qayyim berkata "Telah nampak jelas perbedaan antara husnudzan dengan ghurur (tipuan). Adapun Husnuzan, jika ia mengajak dan mendorong beramal, membantu dan membuat rindu padanya: maka ia benar. Jika mengajak malas dan berkubang dengan maksiat: maka ia ghurur (tipuan). Husnuzan adalah raja' (pengharapan). Siapa yang pengharapannya mendorongnya untuk taat dan menjauhkannya dari maksiat: maka ia pengharapan yang benar. Sedangkan siapa yang kemalasannya adalah raja' dan meremehkan perintah: maka ia tertipu." (Al-Jawab al-Kaafi: 24)

Related Post:

0 komentar:

Posting Komentar